Kamis, 12 Desember 2019

PP no 4 tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara


pp no 4 tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara

 Kawasan udara terlarang (prohibited area), menurut PP ini, merupakan kawasan udara di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan permanen dan menyeluruh bagi Pesawat Udara. “Kawasan udara terlarang (prohibited area) sebagaimana dimaksud meliputi: a. ruang udara di atas Istana Presiden; b. ruang udara di atas instalasi nuklir; dan c. ruang udara di atas obyek vital nasional yang bersifat strategis tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usulan Menteri (Pertahanan, red) setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan,” bunyi Pasal 7 ayat (2,3,4) PP tersebut.

Adapun kawasan udara terbatas (restricted area), menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan oleh Pesawat Udara Negara (pesawat yang digunakan oleh TNI, Polri, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya).

Dalam PP ini disebutkan, pembatasan bersifat tidak tetap itu dapat berupa pembatasan waktu dan ketinggian. Sementara kawasan terbatas dimaksud meliputi: a. Markas Besar TNI; b. Pangkalan Udara TNI; c. kawasan latihan militer; d. kawasan operasi militer; e. kawasan latihan penerbangan militer; f. kawasan latihan penembakan militer; g. kawasan peluncuran roket dan satelit; dan h. ruang udara yang digunakan untuk penerbangan dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang setingkat kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.

Sedangkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone/ ADIZ), menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan yang ditetapkan bagi keperluan identifikasi Pesawat Udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, yang berada pada: a. ruang udara di Wilayah Udara; dan b. ruang udara di Wilayah Udara yurisdiksi.

Pelanggaran Wilayah
Dalam PP ini ditegaskan, Pesawat Udara Negara Asing yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara harus memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan Izin Keamanan (security clearance). Untuk Pesawat Udara Sipil Asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara, menurut PP ini, harus memiliki Izin Diplomatik (diplomatic clearance), Izin Keamanan (security clearance) dan Persetujuan Terbang (flight approval).

Pesawat Udara sebagaimana dimaksud yang terbang dengan tidak memiliki izin merupakan pelanggaran,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini.

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yang dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sesuai dengan kewenangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.

Mengenai penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia untuk kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal atau bukan niaga dari dan ke, melalui atau di dalam Wilayah Udara, menurut PP ini, dilakukan setelah memiliki Persetujuan Terbang (fligh approval).

Untuk wilayah tertentu, penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia untuk kegiatan bukan niaga berupa survey udara, pemetaan dan foto udara, own use charter, dan joy flight dilakukan setelah memiliki Izin Keamanan (security clearance) kecuali untuk kegiatan pelatihan (training). Wilayah tertentu sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, meliputi: a. Bandar Udara yang digunakan secara bersama; b. Pangkalan Udara yang digunakan secara bersama; c. Bandar Udara atau Pangkalan Udara di wilayah perbatasan, dan wilayah yang berpotensi ancaman.

PP ini menegaskan, Pesawat Udara dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang (prohibited area).

Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Asing
PP No.4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia (RI) juga mengatur Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Negara Asing yang terbang di atas daratan dan/atau perairan Indonesia.

Menurut PP ini, Pesawat Udara Negara Asing dapat melaksanakan hak lintas udara di atas Alur Laut Kepulauan dan/atau transit pada alur yang telah ditetapkan untuk penerbangan dari satu Bandar Udara atau pangkalan udara negara asing ke Bandar Udara atau pangkalan udara negara asing lainnya melewati laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif tanpa mengganggu kepentingan Indonesia di Wilayah Udara Yurisdiksi.

Pesawat Udara Negara Asing sebagaimana dimaksud meliputi: a. Pesawat Udara Negara Asing bagian dari kapal laut; dan/atau b. Pesawat Udara Negara Asing yang terbang dari negara asal (land based aircraft), baik pesawat tunggal (single flight) atau beberapa pesawat dalam bentuk formasi (formation flight).

Dalam PP ini disebutkan, perwakilan negara dari Pesawat Udara Negara Asing yang melaksanakan hak lintas udara di atas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud wajib memberitahukan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri dan Panglima TNI.

Selain itu, Awak Pesawat Udara Negara Asing yang melaksanakan hak lintas udara di atas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan rencana penerbangan (flight plan), menghidupkan transponder, dan melakukan komunikasi dengan Unit Pelayanan Pemanduan Lalu Lintas Penerbangan.

“Pesawat Udara Negara Asing yang melintas di luar Alur Laut Kepulauan harus memiliki lzin Diplomatik(diplomatic clearance) dan lzin Keamanan (security clearance),” bunyi Pasal 19 ayat (6) PP ini.

Untuk Pesawat Udara Sipil Asing, menurut PP ini, dapat terbang di Wilayah Udara di atas Alur Laut Kepulauan setelah mendapat rute penerbangan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

“Awak Pesawat Udara Sipil Asing yang memilih rute penerbangan di atas Alur Laut Kepulauan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud harus memberitahukan kepada  Unit  Pelayanan Pemanduan Lalu Lintas Penerbangan,” bunyi Pasal 20 ayat (2) PP ini.

Ditegaskan dalam PP ini, Pesawat Udara Negara Asing yang mengikuti rute di atas Alur Kepulauan dilarang: a. melakukan maneuver latihan perang; b. menyimpang lebih dari 25 mil laut kedua sisi dari garis sumbu Alur Laut Kepulauan; dan/atau c.terbang dekat ke pantai kurang dari 10 persen jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan Alur Laut Kepulauan.

Penyimpangan dari rute sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dapat dilakukan setelah mendapat izin dari pemandu Lalu Lintas Penerbangan.“Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Asing yang melaksanakan hak lintas Alur Laut Kepulauan dan hak lintas transit di Wilayah Udara yang tidak dapat melakukan komunikasi dan/atau tidak ada pemandu Lalu Lintas Penerbangan harus memonitor frekuensi radio internasional  atau frekuensi radio darurat internasional setiap waktu,” bunyi Pasal 22 PP ini.

Dalam PP ini ditegaskan Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Asing yang terbang di Wilayah Udara dilarang mengangkut material biologi, bahan kimia, dan radio aktif yang berkontribsi untuk senjata pemusnah massal.

Palaksanaan Tindakan
Dalam PP ini disebutkan, Pesawat Udara yang melakukan pelanggaran dilakukan tindakan pengenalan secara visual, pembayangan, penghalauan, dan/atau pemaksaan mendarat oleh Pesawat Udara TNI.

Untuk Pesawat Udara Sipil Indonesia dan Pesawat Udara Sipil Asing yang dikuasai secara melawan hukum dan/atau dikuasai oleh teroris yang mengancam pusat pemerintahan, pusat ekonomi, obyek vital nasional, dan keselamatan negara, menurut PP ini, dilakukan tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan untuk Pesawat Udara Negara Asing yang bersenjata dan/atau Pesawat Udara Negara Asing pengintai yang mengancam pusat pemerintahan, pusat ekonomi, obyek vital nasional, dan keselamatan negara, menurut PP ini, dilakukan tindakan penggunaan senjata. Demikian juga untuk Pesawat Udara Negara Asing tanpa awak yang melanggar wilayah kedaulatan wilayah negara Republik Indonesia, menurut PP ini, dikenai tindakan penggunaan senjata.

Pesawat Udara Negara Asing yang terbang di zona identifikasi pertahanan udara (air defence identification zone/ADIZ) pada ruang udara di Wilayah Udara dengan tidak memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan lzin Keamanan (security clearance), menurut PP ini, dilakukan tindakan penghalauan dan/atau pemaksaan mendarat oleh Pesawat Udara TNI.

Menurut PP ini, Pesawat Udara yang dipaksa mendarat oleh Pesawat TNI dilakukan penyelidikan awal oleh Tentara Nasional Indonesia berupa: a. pemeriksaan dokumen; b. pemeriksaan pesawat; dan c. pemeriksaan awak pesawat dan penumpang. Dalam hal terdapat pelanggaran hukum dan/atau indikasi tindak pidana dalam penyelidikan awal, menurut PP ini, personel Pesawat Udara diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 19 Februari 2018 itu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar