pp no 4
tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara
Kawasan udara terlarang (prohibited area), menurut
PP ini, merupakan kawasan udara di atas daratan dan/atau perairan dengan
pembatasan permanen dan menyeluruh bagi Pesawat Udara. “Kawasan udara terlarang
(prohibited area)
sebagaimana dimaksud meliputi: a. ruang udara di atas Istana Presiden; b. ruang
udara di atas instalasi nuklir; dan c. ruang udara di atas obyek vital nasional
yang bersifat strategis tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Presiden
berdasarkan usulan Menteri (Pertahanan, red) setelah mendapatkan pertimbangan
dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan,”
bunyi Pasal 7 ayat (2,3,4) PP tersebut.
Adapun
kawasan udara terbatas (restricted
area), menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas
daratan dan/atau perairan dengan pembatasan bersifat tidak tetap dan hanya
dapat digunakan untuk operasi penerbangan oleh Pesawat Udara Negara (pesawat
yang digunakan oleh TNI, Polri, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya).
Dalam
PP ini disebutkan, pembatasan bersifat tidak tetap itu dapat berupa pembatasan
waktu dan ketinggian. Sementara kawasan terbatas dimaksud meliputi: a. Markas
Besar TNI; b. Pangkalan Udara TNI; c. kawasan latihan militer; d. kawasan
operasi militer; e. kawasan latihan penerbangan militer; f. kawasan latihan
penembakan militer; g. kawasan peluncuran roket dan satelit; dan h. ruang udara
yang digunakan untuk penerbangan dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
setingkat kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.
Sedangkan
Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone/ ADIZ),
menurut PP ini, merupakan ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau
perairan yang ditetapkan bagi keperluan identifikasi Pesawat Udara untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan negara, yang berada pada: a. ruang udara di
Wilayah Udara; dan b. ruang udara di Wilayah Udara yurisdiksi.
Pelanggaran
Wilayah
Dalam
PP ini ditegaskan, Pesawat Udara Negara Asing yang terbang ke dan dari atau
melalui Wilayah Udara harus memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan
Izin Keamanan (security
clearance). Untuk Pesawat Udara Sipil Asing tidak berjadwal yang
terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara, menurut PP ini, harus memiliki
Izin Diplomatik (diplomatic
clearance), Izin Keamanan (security
clearance) dan Persetujuan Terbang (flight approval).
“Pesawat
Udara sebagaimana dimaksud yang terbang dengan tidak memiliki izin merupakan
pelanggaran,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini.
Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP
ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yang dilakukan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sesuai dengan
kewenangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, diatur dengan
peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Mengenai
penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia untuk kegiatan angkutan udara
niaga tidak berjadwal atau bukan niaga dari dan ke, melalui atau di dalam
Wilayah Udara, menurut PP ini, dilakukan setelah memiliki Persetujuan Terbang (fligh approval).
Untuk
wilayah tertentu, penggunaan Pesawat Udara Sipil Indonesia untuk kegiatan bukan
niaga berupa survey udara, pemetaan dan foto udara, own use charter, dan joy flight dilakukan
setelah memiliki Izin Keamanan (security
clearance) kecuali untuk kegiatan pelatihan (training). Wilayah
tertentu sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, meliputi: a. Bandar Udara yang
digunakan secara bersama; b. Pangkalan Udara yang digunakan secara bersama; c.
Bandar Udara atau Pangkalan Udara di wilayah perbatasan, dan wilayah yang berpotensi
ancaman.
PP ini
menegaskan, Pesawat Udara dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang (prohibited area).
Pesawat
Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Asing
PP No.4
Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia (RI) juga
mengatur Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Negara Asing yang
terbang di atas daratan dan/atau perairan Indonesia.
Menurut
PP ini, Pesawat Udara Negara Asing dapat melaksanakan hak lintas udara di atas
Alur Laut Kepulauan dan/atau transit pada alur yang telah ditetapkan untuk
penerbangan dari satu Bandar Udara atau pangkalan udara negara asing ke Bandar
Udara atau pangkalan udara negara asing lainnya melewati laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif tanpa mengganggu kepentingan Indonesia di Wilayah Udara
Yurisdiksi.
Pesawat
Udara Negara Asing sebagaimana dimaksud meliputi: a. Pesawat Udara Negara Asing
bagian dari kapal laut; dan/atau b. Pesawat Udara Negara Asing yang terbang
dari negara asal (land based
aircraft), baik pesawat tunggal (single
flight) atau beberapa pesawat dalam bentuk formasi (formation flight).
Dalam
PP ini disebutkan, perwakilan negara dari Pesawat Udara Negara Asing yang
melaksanakan hak lintas udara di atas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud
wajib memberitahukan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang luar negeri dan Panglima TNI.
Selain
itu, Awak Pesawat Udara Negara Asing yang melaksanakan hak lintas udara di atas
Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan rencana penerbangan
(flight plan),
menghidupkan transponder, dan melakukan komunikasi dengan Unit Pelayanan
Pemanduan Lalu Lintas Penerbangan.
“Pesawat
Udara Negara Asing yang melintas di luar Alur Laut Kepulauan harus memiliki
lzin Diplomatik(diplomatic
clearance) dan lzin Keamanan (security
clearance),” bunyi Pasal 19 ayat (6) PP ini.
Untuk
Pesawat Udara Sipil Asing, menurut PP ini, dapat terbang di Wilayah Udara di
atas Alur Laut Kepulauan setelah mendapat rute penerbangan yang ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dan
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.
“Awak
Pesawat Udara Sipil Asing yang memilih rute penerbangan di atas Alur Laut
Kepulauan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud harus memberitahukan kepada
Unit Pelayanan Pemanduan Lalu Lintas Penerbangan,” bunyi Pasal 20
ayat (2) PP ini.
Ditegaskan
dalam PP ini, Pesawat Udara Negara Asing yang mengikuti rute di atas Alur
Kepulauan dilarang: a. melakukan maneuver latihan perang; b. menyimpang lebih
dari 25 mil laut kedua sisi dari garis sumbu Alur Laut Kepulauan; dan/atau
c.terbang dekat ke pantai kurang dari 10 persen jarak antara titik-titik yang
terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan Alur Laut Kepulauan.
Penyimpangan
dari rute sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dapat dilakukan setelah
mendapat izin dari pemandu Lalu Lintas Penerbangan.“Pesawat Udara Negara Asing
dan Pesawat Udara Sipil Asing yang melaksanakan hak lintas Alur Laut Kepulauan
dan hak lintas transit di Wilayah Udara yang tidak dapat melakukan komunikasi
dan/atau tidak ada pemandu Lalu Lintas Penerbangan harus memonitor frekuensi
radio internasional atau frekuensi radio darurat internasional setiap
waktu,” bunyi Pasal 22 PP ini.
Dalam
PP ini ditegaskan Pesawat Udara Negara Asing dan Pesawat Udara Sipil Asing yang
terbang di Wilayah Udara dilarang mengangkut material biologi, bahan kimia, dan
radio aktif yang berkontribsi untuk senjata pemusnah massal.
Palaksanaan
Tindakan
Dalam
PP ini disebutkan, Pesawat Udara yang melakukan pelanggaran dilakukan tindakan
pengenalan secara visual, pembayangan, penghalauan, dan/atau pemaksaan mendarat
oleh Pesawat Udara TNI.
Untuk
Pesawat Udara Sipil Indonesia dan Pesawat Udara Sipil Asing yang dikuasai
secara melawan hukum dan/atau dikuasai oleh teroris yang mengancam pusat
pemerintahan, pusat ekonomi, obyek vital nasional, dan keselamatan negara,
menurut PP ini, dilakukan tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan
untuk Pesawat Udara Negara Asing yang bersenjata dan/atau Pesawat Udara Negara
Asing pengintai yang mengancam pusat pemerintahan, pusat ekonomi, obyek vital
nasional, dan keselamatan negara, menurut PP ini, dilakukan tindakan penggunaan
senjata. Demikian juga untuk Pesawat Udara Negara Asing tanpa awak yang
melanggar wilayah kedaulatan wilayah negara Republik Indonesia, menurut PP ini,
dikenai tindakan penggunaan senjata.
Pesawat
Udara Negara Asing yang terbang di zona identifikasi pertahanan udara (air
defence identification zone/ADIZ) pada ruang udara di Wilayah Udara dengan
tidak memiliki lzin Diplomatik (diplomatic
clearance) dan lzin Keamanan (security
clearance), menurut PP ini, dilakukan tindakan penghalauan dan/atau
pemaksaan mendarat oleh Pesawat Udara TNI.
Menurut
PP ini, Pesawat Udara yang dipaksa mendarat oleh Pesawat TNI dilakukan
penyelidikan awal oleh Tentara Nasional Indonesia berupa: a. pemeriksaan
dokumen; b. pemeriksaan pesawat; dan c. pemeriksaan awak pesawat dan penumpang.
Dalam hal terdapat pelanggaran hukum dan/atau indikasi tindak pidana dalam
penyelidikan awal, menurut PP ini, personel Pesawat Udara diproses sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H. Laoly pada 19 Februari 2018 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar